Skip to main content

Kisah Pengabdian Kapten Solikin



Mantan komandan pasukan penjinak bom. Mengalami kebutaan akibat kecelakaan saat tugas. Sempat mengalami frustasi dan stress berat. Kini mengabdi menjadi pengasuh di PSBN Cahaya Bathin.

“Sebenarnya ceritanya panjang,” kata Kapten Solikin yang duduk di salah satu sofa dalam ruangan kepala Panti Sosial Bina Netra Cahaya Bathin. Hadir di ruangan itu Saya, Kepala Panti Djaka Kunandjaya, Asep Supriatna pengasuh, dan Septohadi seorang penghuni panti .


Kapten Solikin awalnya adalah anggota batalyon Zipur 8, Wirabuana, yang bermarkas di Makasar. Saat bertugas disana sekitar pertengahan tahun 90an tengah hangat-hangatnya konflik di Timor Timur yang kini lepas dan menjadi Timorleste. Waktu itu kesatuanya tengah bersiap melaksanakan operasi keamanan di daerah yang bergejolak itu.




Solikin waktu itu sudah menjadi seorang perwira muda. Kebetulan waktu itu ia bertindak sebagai Komandan Kompi Penjinak Bahan Peledak. (Pasukan Jihandak). “Waktu itu saya mempersiapkan anggota saya ada sebanyak 2 tim untuk penjinakan bahan peledak,” kenangnya.

Tempat pelatihan anggota penjinak bom yang dipimpin Solikin dilaksanakan di daerah Poso. Waktu itu Solikin sebagai pelatih memperagakan bagaimana menjinakkan bahan peledak. Karena nantinya yang bakal dihadapi adalah perang sesungguhnya maka latihan yang dilaksanakan adalah latihan basah artinya dengan bom yang sesungguhnya. “ Biasalah resiko prajurit. Waktu itulah terjadi kecelakaan bom tersebut meledak dan percikannya mengenai mata saya.”




Solikin sempat menjalani perawatan dari satu rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Waktu itu bulan Maret tahun 1996 awalnya ia dirawat selama sebulan di rumah sakit daerah Ujungpandang. Di sana ia sempat menjalani operasi karena mata Solikin yang 1 pecah. Mata yang pecah itu langsung diambil di Ujungpandang sedangkan yang satu dibiarkan.

Karena di Ujungpandang belum ada perlengkapan yang lengkap akhirnya ia dievakuasi ke Jakarta di rawat di RSPAD Gatot Subroto. Selanjutnya dikirim ke Jakarta Eye center. Di Jakarta Eye Center matanya yang satu kembali diperiksa. “ Ternyata masih ada 2 buah pecahan batu di bola mata saya,” kata Solikin.

Mata yang tertinggal satu itu akhirnya dioperasi. Awalnya ia masih bisa melihat bayang-bayang. Namun setelah berjalan sebulan ternyata tidak juga mengalami perkembangan, ia tetap tidak bisa melihat. Akhirnya ia menjalani cangkok mata namun masih belum bisa melihat juga. Akhirnya operasi mata Solikin dinyatakan gagal. Sehingga dokter yang menanganinya waktu itu menyatakan Solikin tidak bisa lagi melihat.

Terlepas Dari Masa Sulit

Mendapat vonis mengalami kebutaan Solikin sempat frustasi. Selama 5 tahun ia hanya tinggal di rumah tanpa melakukan aktivitas yang berarti. Meskipun mengalami cacat permanen Solikin masih tercatat di Direktorat Zeni Komplek Berlan. Setelah masa-masa kritis tersebut Solikin direhabilitasi di Bintaro, Dephan. Namun karena disana tidak ada yang khusus menangani penderita cacat mata akhirnya dikirim ke PSBN Cahaya Bathin, Cawang.

Solikin berada di panti ini selama 4 bulan. Dalam masa itu ia masih dalam proses menyesuaikan diri sehingga belum belajar apa-apa. “ Saya masih kaya orang gila, stress,” kenangnya.

Solikin mendapat bimbingan dari pengasuh di panti tersebut. Hingga berawal dari masa 4 bulan itu ternyata ia mulai bisa mengenali jati diri saya. “ Akhirnya saya terketuk dan berfikir oiya berarti saya masih dibutuhkan orang cacat,” katanya.

Akhirnya Solikin setelah kembali ke Pusat Rehabilitasi Cacat (Pusrehabcat) mengajukan untuk dikembalikan ke PSBN Cahaya Bathin. Tapi waktu itu bukan Pusrehabcat yang menyekolahkan tapi Direktorat Zeni langsung. Dia berfikir agar dipindahkan ke pusrehabcat Dephan. Karena saya cacat disaat menjalankan tugas, ia dihidupi oleh negara. Ia minta untuk bisa mengabdi di PSBN Cahaya Bathin mulai tahun 2003.

Sejak memutuskan mengabdi di PSBN Cahaya Bathin itulah Solikin merasa memulai kehidupan baru. Ia mengajar masalah mental, disiplin yang pancasilais. “ Yang saya tekankan pada mereka mental disiplin yang berjiwa pancasila,” ujarnya.

Disamping mengajar Solikin juga sambil belajar. Ia terus menyesuaikan diri dan sekarang selain membantu dalam pembinaan mental juga membantu mengajar untuk pijat massage. “Alhamdulillah, saya bisa menemukan hidup baru. Tumbuh lagi itu semangat saya. Saya sudah berumur 53 tapi perasaan saya baru berumur 30 tahun,” katanya.

Begitulah perjalanan Kapten Solikin, berawal dari orang yang memiliki organ tubuh normal kemudian menjadi tunanetra yang membuatnya sempat mengalami frustasi. Sekarang iamerasa baru di dunianya sekarang ini. Begitu semangatnya Solikin hingga ia berujar untuk anak-anak tunanetra asuhannya nyawapun ia korbankan asal untuk mereka.

Ia memberi tips bagaimana bisa lepas dari keterpurukan. Menurutnya yang penting harus berani menerima kenyataan hidup. “Ternyata saya ini tunanetra. Saya membayangkan anak-anak seperti zuhroh dan lain lain bagaimana nasib mereka kedepan. Sehingga saya mata saja yang buta sdangkan yang lain semangat, kemauan masih sama,” katanya.

Faktor lain untuk bisa lepas dari trauma menurut Solikin harus didukung oleh keluarga. Terakhir adalah harus menrima kenyataan, kembali pada rekondisi mental, Kembali pada Tuhan. Harus percaya betul bahwa semuanya atas kehendak Tuhan. “ Kalau itu kita yakini betul Insya Allah akan tumbuh lagi kepercayaan diri dan semangat hidup,” ujarnya.

Menjalani Berbagai Profesi

Solikin merupakan putra asli Jawa Timur. Masa kecilnya hingga dewasa dilalui dengan berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Ia lahir di Kertosono 1 Agustus 1957. Ia menempuh bangku Sekolah Dasar hingga lulus Sekolah Teknik (ST) di Kertosono. Ia kemudian melanjutkan bangku STM di Jakarta mengikuti orang tunya yang pindah tugas dan lulus tahun 1976.

Selepas lulus STM ia tak langsung bergabung di Tentara Nasional Indonesia. Ia sempat kerja di salah satu BUMN, Hutama Karya di bagian Elektrik. Sempat juga kerja di perusahaan Amerika. Pengalaman bekerja di perusahaan asing yang membuatnya tak asing dengan teknologi modern. Tahun 1979 bahkan ia sudah mengenal computer.

Awal karir Solikin di TNI dimulai tahun 1981. Ia mendaftar lewat jalur wajib militer. Tahun itu merupakan tahun terakhir wajib militer setelah lulus pendidikan ia menyandang pangkat Sersan Dua. Karir Solikin termasuk cepat di militer. Tahun 1989 ia mengikuti Sekolah Calon Perwira ia lulus dan selepas menyandang pangkat Letnan Dua ia dipindah tugaskan di Makasar.

Menjadi Pengasuh Panti

Menjadi pengasuh di Panti diakui oleh Solikin ada suka dan dukanya. Satu kebahagiaan bagi Solikin jika anak didiknya maju. Solikin berkisah tentang seorang anak didiknya. Di bercerita tentang Zuhroh, seorang penghuni panti yang sejak kecil dibuang oleh orang tuanya. Dia berpindah dari satu panti ke panti yang lain. Dia masuk kesini seperti orang gila. Mudah marah dan sebagainya.

Namun kini sosok Zuhroh sudah jauh berbeda. Berkat ketelatenan para pengasuhnya ia kini sudah dipercaya untuk melakukan hal-hal yang dulu tidak mungkin baginya seperti menjadi pemimpin barisan setiap apel pagi di panti. “Dengan dia sudah bisa begitu itulah kebahagiaan saya. Saya paling bahagia kalau anak didik saya suka,” ujarnya.

Mengenai dukanya Solikin memaparkan biasa dialami setiap pangasuh lainnya juga. Menurut Solikin tunanetra itu tidak semuanya baik seperti orang normal ada yang bandel juga, ada juga yang pemalas. Menghadapi hal seperti terkadang ia merasa sedih meskipun sudah mengajar sungguh-sungguh.

Menurut Solikin penghuni panti itu bisa dibagi menjadi beberapa kategori. Kategori pertama adalah yang mampu didik dan kategori lainnya ada yang mampu latih. Untuk kategori pertama itu tidak menjadi masalah. “ Yang menjadi masalah mengahadapi orang-orang buta yang sudah tua dan mereka yang memiliki intelektual rendah. Itu paling susah namun Itulah tantangan yang paling besar buat kami semua. Bagaimana menghadapi orang-orang seperti itu dan diantarkan supaya bisa mandiri,” kata Solikin.

Fathoni Arief

Comments